Beberapa waktu lalu aku melihat di timeline Instagram sebuah postingan dari salah satu akun organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Dalam postingan tersebut menjelaskan sedikit tentang konsep Ekoteologi yang akhir-akhir ini sedang gencar digaungkan oleh Kementerian Agama RI.
Ekoteologi sendiri menurut Dr. Sholehuddin, S.A, M.Pd.I merupakan perpaduan antara pendekatan-pendekatan agama dengan isu lingkungan, dengan bahasa lain dapat dijelaskan sebagai bagaimana kita menyelesaikan permasalahan-permasalahan lingkungan dengan pendekatan agama.
Dijelaskan pula oleh Sirajul Arifin, ekoteologi adalah sebuah pendekatan yang menggabungkan antara pemahaman teologis dengan kesadaran ekologis.
Baca Juga: Kenapa Harus Iphone?
Selain itu, ekoteologi juga didefinisikan sebagai suatu rumusan teologi yang membahas interrelasi antara agama dengan alam, atau agama dengan lingkungan (Ridwanuddin, 2017).
Melihat dari pendefinisiannya, sekilas konsep ini sangat bagus dan terkesan sangat mendukung keberlangsungan serta keberlanjutan ekologi.
Bahkan bukan sebatas konsep saja, hal ini juga telah mewujud dalam sebuah kebijakan, yang direalisasikan dengan program penanaman pohon oleh seluruh ASN di bawah naungan Kementerian Agama RI.
Konsep ini diharapkan tidak sekedar menjadi sebuah retorika belaka, namun juga dapat dibumikan sebagai suatu gerakan kolektif seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan merawat bumi.
Kritik Sosial
Berbicara tentang ekoteologi, aku punya sedikit keresahan.
Agama yang membawa banyak dalil tentang menjaga dan merawat alam pada kenyataannya malah justru paling banyak pengikutnya yang melakukan tindakan merusak alam.
Baca Juga: Dunia Tidak Berjalan Sesuai Keinginanmu
Alih-alih menerapkann konsep ekoteologi, memahami dan menjalankan ajaran teologinya saja mereka masih belum bisa.
Banyak orang dengan keras berteriak tentang amal sholih, akhlak, iman, surga dan neraka, namun membuang sampah pada tempatnya saja mereka tidak bisa.
Dengan lantang mulut mereka berkhotbah tentang cinta kasih, namun kepada alam mereka tak tahu terima kasih.
Tidak kurang dalil-dalil agama menjelaskan tentang menjaga dan merawat alam. Namun nyatanya, banyak yang egois bertindak seenaknya.
Sering aku melihat orang merokok sambil berkendara, membuang puntung rokok sembarangan, membuang botol plastik, bungkus makanan, permen, dll seenak udelnya sendiri. Waktu ditegur bukannya introspeksi, malah justru merasa benar sendiri.
Baca Juga: Ngrasani, Sistem Pengendalian Sosial Masyarakat Desa
Di mana agama itu? mereka mengaku paling religius, berpakaian paling agamis. Tapi buang sampah sembarangan, merokok tak tahu tempat.
Mereka merasa agamanya paling benar, tapi kelakuannya lebih bangsat dari setan.
Ini masih soalan kecil tentang sampah dan asap rokok. Kita belum berbicara tentang pembuangan limbah, pembalakan liar, pembakaran, penambangan yang ugal-ugalan dan lain sebagainya.
Mungkin kita harus belajar ke saudara-saudara kita dari Hindu Bali, Suku Baduy di Banten dan Suku Kajang di Sulawesi Selatan.
Mereka yang kita anggap kafir, klenik, pagan, syirik, terbelakang malah justru lebih bisa menerapkan konsep ekoteologi ini.
Lihat bagaimana saudara-saudara kita umat Hindu Bali menghargai alam mereka. Lihat saudara-saudara kita warga Baduy menghormati hutan mereka, lihat bagaimana suku Kajang menjadi salah satu penjaga hutan terbaik di dunia.
Kita yang meyakini agama kita paling benar malah justru paling bodoh dalam merawat alam. Kita yang merasa paling modern malah yang paling besar perannya merusak alam.
Penutup
Konsep tentang ekoteologi ini memang bagus, tapi akan percuma jika tidak diimbangi dengan kualitas SDM yang mumpuni. Tidak hanya pengetahuan, namun juga kesadaran bersama harus kita bangun untuk sama-sama merawat dan menjaga alam ciptaan Tuhan ini.
Tak perlu bicara muluk-muluk tentang menyelamatkan bumi, kalau membuang sampah saja masih seenaknya sendiri.
Baca Juga: Manusia adalah Makhluk Dinamis dan Inkonsisten
Di sini penulis mengajak rekan-rekan pembaca untuk bersama-sama menjaga dan merawat bumi lewat hal paling kecil dulu, yaitu membuang sampah pada tempatnya.
Jika mungkin saat kita jalan-jalan dan tidak menemukan tempat sampah, bisa dikantongi dulu, atau dibawa dulu sementara sampahnya. Nanti kalau sudah ketemu tempat sampah bisa dibuang di tempat itu.
Kalau rekan-rekan ada yang perokok, ya tolong cari tempat yang memang disediakan sebagai smoking area. Jangan seenaknya merokok di sembarang tempat, dan jangan juga merokok sambil berkendara. Bukan apa-apa, tapi abunya itu lo terbang kemana-mana.
Disclaimer
Di sini penulis hanya menyampaikan uneg-uneg dan keresahan hati saja. Tidak ada niat untuk mendiskreditkan agama, ras, suku maupun kelompok tertentu.
Penulis sendiri juga masih berproses untuk dapat menerapkan ajaran-ajaran agama dengan baik dan benar.
Melalui tulisan ini, penulis berharap semoga kita bisa bersama-sama menjadi manusia yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam diri penulis dan pembuatan tulisan ini. Maka sangat penulis harapkan feedback serta kritik dari rekan-rekan pembaca sekalian. Terima kasih.(*)
Referensi:
Arifin, S. (2025, September 12). EKOTEOLOGI BUKAN SEKADAR GAGASAN. Diambil kembali dari UIN Sunan Ampel Surabaya: https://uinsa.ac.id/ekoteologi-bukan-sekadar-gagasan
Balai Diklat Keagamaan Surabaya. (2025, April 28). Mengenal Ekoteologi: Mengapa Konsep Ini Penting untuk Kita? Ini Penjelasannya! Diambil kembali dari Balai Diklat Keagamaan Surabaya Kementerian Agama RI: https://www.bdksurabaya-kemenag.id/berita/mengenal-ekoteologi-mengapa-konsep-ini-penting-untuk-kita-ini-penjelasannya
Ridwanuddin, P. (2017). Ekoteologi dalam Pemikiran Badiuzzaman Said Nursi. Lentera, Vol. 1 No. 1, 39-61.